BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Topik perkembangan linguistik sebagaimana tersurat dalam judul mengimperasi pada kajian bidang historiografi linguistik atau penyusunan sejarah linguistik. Menurut Kridalaksana (1985:57), kajian historiografi linguistik merupakan sarana untuk melihat kembali yang telah dilakukan selama ini, sehingga diperoleh pemahaman perkembangan konsep, teori, metode, terminologi, dan ciri deskripsi di bidang bahasa. Oleh karena itu, seperti halnya penyusunan sejarah pada umumnya, kajian tersebut terpumpun pada pelacakan atas peristiwa masa lalu. Hal itu berarti kajian ini memerlukan data-data peristiwa linguistis yang pernah terjadi pada suatu masa, dan di suatu tempat, karena sejarah tidak pernah lepas dari waktu dan ruang tertentu, bahkan juga tokoh tertentu.
Peristiwa linguistis apa sajakah yang dapat digunakan sebagai data dalam pengkajian historiografi? Pertama, tentu saja, penelitian bahasa karena dalam penelitian bahasa akan tersurat juga teori, konsep, metode, terminolgi, dan karakteristik deskripsi. Oleh karena itu, karya penelitian di bidang bahasa dapat menjadi data dalam penyusunan historigrafi. Peristiwa lain, kedua, adalah pengajaran bahasa karena dalam pengajaran bahasa, khususnya dalam buku-buku pelajaran bahasa yang digunakan dapat diketahui juga teori, konsep linguistik yang dianutnya Ketiga, dan inilah yang paling esksplit, adalah penulisan karya teoritis, yaitu buku yang secara eksklusif memaparkan teori linguistik tertentu. Singkat kata, segala sesuatu yang membicarakan bahasa dapat menjadi materi kajian, tidak terbatas pada karya teoritis (Kridalaksana, 1985: 57).
Oleh sebab kelaziman dalam kajian historis juga, tulisan ini dilakukan dengan pola urutan kronologis yang terejawantah dalam periodisasi. Periodisasi yang digunakan didasarkan pada dominasi teori tertentu pada kurun waktu tertentu. Atas dasar hal tersebut, setelah memetakan beragam teori linguistik yang pernah dan masih digunakan dalam kancah studi bahasa di Indonesia, berikut secara berturut-turut akan dibahas (1)periode dominasi tata bahasa tradisional (sebelum 1965-an), (2)periode dominasi tata bahasa struktural (1965-an s.d. 1985-an), (3)periode dominasi tata bahasa transformasional di tengah variasi tata bahasa fungsional/pragmatik (1985-an s.d. akhir 1990-an), dan (4)periode warna-warni teori (awal 2000-an). Istilah dominasi dalam penamaan periodisasi ini didasari fenomena linguistis bahwa teori-teori tertentu dalam suatu periode tetap eksis walaupun telah muncul teori baru pada periode berikutnya. Jadi, harus diakui bahwa teori tata bahasa tradisional, misalnya, sampai sekarang (awal 2000-an) tetap berpengaruh dan digunakan dalam pengajaran bahasa maupun penelitian bahasa di Indonesia.
1. Periode Dominasi Tradisional (Sebelum 1965-an)
Sesungguhnya, lebih dari tiga abad sebelum 1965-an (tepatnya pada 1653) Joannes Roman telah menulis tata bahasa Melajoe (baca: bahasa Indonesia). Untuk pendeskripsian fenomena bahasa Melajoe, ia menggunakan istilah dalam bahasa Belanda yang tidak lain terjemahan istilah Latin, misalnya dalam penyebutan kelas kata. Oleh Joannes Ramon kelas kata dalam bahasa Melajoe dibedakan atas (1)namen atau benda, (2)voornamen atau kata ganti, (3)woorden atau kata kerja, (4)bijwoorden atau kata keterangan, (5)voorzettingen atau kata depan, (6)koppelingen atau kata sambung, dan (7)inwurpen atau kata seru (Kridalaksana, 2002:4). Pembagian kelas kata seperti itu tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan Dyonisius Thrax (100 SM) atas (1)onoma atau kata benda, (2)antonymia atau kata ganti, (3)rhema atau kata kerja, (4)epirrhema atau kata keterangan, (5)prothesis atau kata depan, (6)syndesmoi atau kata sambung, (7)metosche atau partisipel, dan (8) arthron atau kata sandang (Sulaiman, 1973:15; Pateda, 1990:16).
Semua mafhum bahwa kelas kata ala Thrax merupakan pengembangan dan perluasan yang pernah dilakukan Aristoteles (300 SM) atas (1)onoma atau kata benda, (2)rhemata atau kata kerja, dan (3)syndesmoi atau kata perangkai, ataupun yang pernah dilakukan Plato (400 SM) atas (1)onoma atau benda, dan (2)rhema atau kerja. Pola pikir Thrax, Aristoteles, dan Plato itu yang menjadi landasan tata bahasa tradisional, yaitu (1)preskriptif, (2)nosional, (3)translingual, (4)logikosentris. Preskriptif berarti tata bahasa tradisional menghakimi penggunaan bahasa atas vonis benar salah (Alwasilah, 1989: 34) atau bersifat menentukan dan mengharuskan (Harsono, 1979: 1). Para tradisionalian sering membuat aturan-aturan kebahasaan yang dapat dianalogikan sebagai resep kebahasaan. Tuturan (1) dinilai takberkaidah, karena itu tidak benar, walaupun tuturan itulah yang pada kenyataannya digunakan penutur bahasa Indonesia untuk menanyakan nama pada lawan bicara. Menurut tradisionalian, tuturan (1a), dan (1b) merupakan tuturan yang sesuai dengan kaidah dan seharusnya digunakan.
* (1) Siapa namanya?
(1a) Siapa namamu?
(1b) Siapa nama Anda?
Hal itu berkaitan dengan ciri lain yang mengabaikan bahasa lisan dan memumpunkan pada bahasa tulis baku. Artinya, tata bahasa tradisional cenderung mengacuhtakacuhkan bahasa lisan, dan menganakemaskan bahasa tulis (dan itupun yang baku) dalam penyusunan aturan-aturan kebahasaannya. Padahal, bahasa tidak hanya tulis tetapi juga lisan, bahkan yang lisan itu primer, dan yang tulis itu sekunder. Tidakkah tuturan (1) lebih sering digunakan daripada tuturan (1a), dan (1b) pada bahasa lisan?
Di samping itu, analisis maupun penjelasan konsepnya berdasarkan nosi atau arti. Alisjahbana (1980: 79) dalam Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia menjelaskan katabenda atau substantif sebagai berikut.
“Menurut pengertian yang dinamakan katabenda ialah nama daripada benda dan segala sesuatu yang dibendakan”.
Tidak hanya itu, struktur sintaksispun dibatasi berdasarkan nosi sehingga batasan itu tidak jelas (Alwasilah, 1989: 35).
Kalimat adalah sekelompok kata-kata yang menyatakan pikiran lengkap dan memiliki subjek dan predikat.
Subjek adalah sesuatu tentang mana sesuatu itu dibicarakan.
Predikat adalah sesuatu yang dikatakan tentang subjek.
Analisis tata bahasa tradisional mendasarkan pada kaidah bahasa lain terutama Yunani, Romawi, dan Latin. Semua mafhum bahwa karakteristiik bahasa Indonesia, misalnya, tidak sama dengan bahasa-bahasa tersebut. Bahasa Yunani, Romawi, dan Latin tergolong bahasa deklinatif, yaitu yang perubahan katanya menunjukkan kategori, kasus, jumlah, atau jenisnya (Kridalaksana,1984: 36), sedangkan bahasa Indonesia tergolong sebagai bahasa inflektif, yaitu perubahan bentuk katanya menunjukkan hubungan gramatikal (Kridalaksana, 1984: 75). Oleh karena itu, analisis yang demikian akan menjumpai berbagai kesulitan, seumpama mematut-patutkan baju orang lain dengan badan sendiri. Belum tentu pas, bukan?
Logika sebagai filsafat berpikir juga dijadikan landasan dan orientasi kajiannya. Penyebutan subjek dan predikat dalam kalimat jelas-jelas menunjukkan bahwa analisis kalimat yang termasuk bidang linguistika dengan demikian seharusnya menggunakan terminologi linguistika, ternyata menggunakan terminologi logika. Bukan hanya adopsi terminologi, tetapi penentuan hubungan subjek-predikat pun terpengaruh oleh pola proposisi kategorik standar dalam logika (Soekadijo, 1985: 4-5).
Pada 1910, Sasrasoeganda menulis Kitab jang Menjatakan Djalan Bahasa Melajoe, yang menurut Sutan Takdir Alisjahbana merupakan buku teks yang sangat berpengaruh di kalangan guru pada waktu itu (Kridalaksana, 1985: 58). Padahal, buku tersebut jelas-jelas ditulis berdasarkan tradisi Yunani-Romawi sebagaimana diintroduksi oleh Thrax ataupun Joannes Ramon. Hal itu terbukti dalam pembahasannya, misal: perkataan nama benda, perkataan nama sefai, perkataan pengganti nama, perkataan pekerjaan, perkataan bilangan, perkataan tambahan, perkataan pengantar (baca: preposisi), perkataan penghubung, dan perkataan penyeru (Kridalaksana, 1985: 60). Buku Sasrasoeganda tersebut disusun berdasar karya van Wijk (1889) Spraakleer der Maleiche Taal yang notabene juga memboyong tradisi Yunani-Romawi.
Di Tanah Semenanjung (atau Malaysia), pada 1940 terbit karya Za’ba berjudul Pelita Bahasa Melayu yang dipengaruhi oleh buku Winstedt Malay Grammar (1914). Selang dua tahun, pada 1942 di Indonesia terbit Djalan Bahasa Indonesia karya Soetan Moehammad Zain. Berturut-turut setelah itu Ilmu Saraf Indonesia (1944) karya B.R. Motik, Tatabahasa Indonesia (1946) karya Husain Munaf, Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia 1 (1949) karya Sutan Takdir Alisjahbana, yang setahun kemudian (1950) disusul buku kedua Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia 2. Pada tahun yang sama (1950) terbit juga karya Fokker Beknopte Grammatica van de Bahasa Indonesia, dan karya Armijn Pane Mentjari Sendi Baru Tatabahasa Indonesia. C.A. Mees pada 1953 menulis Tatabahasa Indonesia, kemudian Poedjawijatna dan Zoetmulder menulis Tatabahasa Indonesia I, II (1955). Pada 1956 Slametmuljana menulis Kaidah Bahasa Indonesia I, II, Tardjan Hadidjaja Tatabahasa Indonesia, Batuah Zainnudin Dasar-dasar Tatabahasa Indonesia. Pada 1964 Soetarna menerbitkan Sari Tatabahasa Indonesia.
Buku-buku tersebut pada masanya dijadikan rujukan dalam pengkajian maupun pengajaran bahasa Indonesia. Buku-buku itu tergolong berpendekatan tata bahasa tradisional. Seperti pada buku Mees (1953), pembahasan kopula adalah, jadi, dan menjadi membuktikan ciri translingual dengan memindahkan kaidah bahasa Eropa ke dalam bahasa Indonesia. Penjenisan objek, sebagaimana dilakukan Sutarno (1964: 86), atas (1)objek penderita, (2)objek pelaku, (3)objek penyerta, dan (4)objek berkata depan menampakkan pengaruh deklinasi seperti telah dibahas di muka sesungguhnya takbersesuaian dengan tabiat bahasa Indonesia.
Tidak dikupasnya masalah bunyi (lebih-lebih fonetik) dalam buku-buku tersebut, dan kalaupun dibicarakan terbatas pada fonem yang juga dikacaukan dengan grafem, hal itu membuktikan bahwa pengaruh tata bahasa tradisional yang terpumpun pada bahasa tulis terjadi juga pada buku-buku tersebut. Alisjahbana, misalnya, tidak menyinggung sedikitpun tentang bunyi, baik itu fona maupun fonem. Pembahasannya terfokus pada pola suku kata sebagai dasar pola kata dasar (Alisjahbana, 1980: 10-17). Jadi, fona dan fonem yang lebih kecil dan mendasari silabel atau suku kata dilewatinya.
Begitupun penjelasan konsep yang terjadi pada buku-buku tersebut yang banyak didasarkan pada nosi atau makna mengindikasikan dominasi tradisional pada karya tersebut.
Kalimat tunggal. Yakni kalimat yang dalam hubungannya dengan yang lain dapat dianggap berdiri sendiri. Kalimat ini hanya terdiri dari SATU SUBJEK dan SATU PREDIKAT.
Kalimat majemuk. Yakni kalimat yang terdiri atas beberapa kalimat tunggal. (Sutarno, 1964: 64)
Oleh karena itu, cukup beralasan untuk mengatakan bahwa sampai dengan sebelum 1965-an perkembangan linguistik di Indonesia terdominasi oleh tata bahasa tradisional.
Tampaknya, buku Sutan Takdir Alisjahbana perlu mendapat sejumput pembahasan, dan sayang jika dilewatkan begitu saja pada tulisan historiografi ini. Mengapa demikian? Kedua buku tersebut sampai dengan awal 1970-an dicetak ulang lebih dari 20 kali. Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia 1, sampai dengan 1970, mengalami cetak ulang ketiga puluh kali. Pada 1976 buku itu sudah sampai pada cetakan keempat puluh. Begitupun Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia 2, sampai pada 1970, telah mengalami cetak ulang kedua puluh enam, dan 1978 baru cetak ulang keduapuluh sembilan. Fenomena apakah itu? Jika cetak ulang itu dapat disikapi sebagai indikator luasnya persebaran kedua buku tersebut, maka hal itu berarti bahwa paradigma tradisional yang melekat pada kedua buku tersebut juga begitu meluas (baca: dominan).
2. Periode Dominasi Struktural (1965-an s.d. 1985-an)
Pada 1970 terbit buku Tatabahasa Indonesia: Untuk Sekolah Lanjutan Atas karya Gorys Keraf. Lewat buku ini aliran struktural mulai dikenal teristimewa dalam bidang pengajaran bahasa Indonesia. Tampaknya introduksi Keraf bergaung benar. Setiap tahun buku ini mengalami cetak ulang. Dominasi struktural semakin kokoh, ketika pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, melakukan perubahan kurikulum dari Rencana Pendidikan dan Pelajaran 1968 ke Kurikulum 1975. Dalam Kurikulum 1975 itu mata pelajaran bahasa Indonesia membagi pokok-pokok bahasannya dalam 9 pokok bahasan: (1)tata bunyi, (2)tata bentukan, (3)tata kalimat, (4)paragraf, (5)gaya bahasa, (6)kosa kata, (7)diskusi, (8)sastra, dan (9)menulis (Yohanes, 1988: 175). Tidakkah pokok-pokok bahasan itu (terutama keempat pokok bahasan pertama) menyuratkan penancapan struktural dalam pengajaran bahasa Indonesia?
Berbarengan dengan itu, pada 11—15 November 1975 di Bandung diselenggarakan Lokakarya Penyusunan Tatabahasa Bahasa Indonesia yang tiga makalahnya membicarakan tata bahasa struktural. Makalah yang dimaksud “Penyusunan Tatabahasa Struktural Bahasa Indonesia” oleh M. Ramlan, “Pedoman Penyusunan Tatabahasa Struktural” oleh Gorys Keraf, dan “Penyusunan Tatabahasa Struktural” oleh Anton M. Moeliono, yang kemudian terhimpun dalam Pedoman Penulisan Tatabahasa Indonesia suntingan Yus Rusyana dan Samsuri pada 1976. Buku tersebut sangat jelas menampakkan orientasi struktural sebagai arah penyusunan tata bahasa bahasa Indonesia.
Pada periode ini juga karya M. Ramlan Ilmu Bahasa Indonesia: Morfologi yang sesungguhnya terbit pertama kali pada 1967, sampai akhir 1970-an mengalami cetak ulang lima kali. Walaupun baru terbit 1981 bukunya Ilmu Bahasa Indonesia: Sintaksis bersama buku sebelumnya menandai berkembangnya struktural dalam kancah linguistik di Indonesia. Begitupun terbitnya karya Samsuri Analisa Bahasa (1978) membuktikan mencuatnya struktural pada periode ini. Disertasi Sudaryanto (1979) di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Predikat-Objek dalam Bahasa Indonesia: Keselarasan Pola-Urutan merupakan bukti lain perkembangan teori struktural pada periode ini.
Manakala perkembangan linguistik di Indonesia tidak dibatasi pada objek bahasa Indonesia tetapi dicakup juga bahasa-bahasa daerah atau bahasa nusantara, periode ini semakin memperoleh banyak bukti bahwa struktural mendominasinya. Oleh pacuan dan picuan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, pada 1970-a ini mulai semarak penelitian bahasa-bahasa daerah dengan kerangka teori struktural. Fonologi Bahasa Karo (1972), Morfologi Bahasa Simalungun (1972), Sintaksis Bahasa Simalungun (1977) oleh H.G. Tarigan merupakan contohnya. Contoh lain Morfologi Bahasa Gorontalo (1980) oleh Badudu, Struktur Bahasa Makasar (1980) oleh Djirong Basang, Struktur Bahasa Tehid (1981) oleh Don Al Flassy, Kajian Morfologi Bahasa Jawa (1982) oleh Uhlenbeck, Sistem dan Struktur Bahasa Sunda (1983) oleh R.H. Robin, Struktur Bahasa Sunda Dialek Cirebon (1985) oleh Abdurachman, Struktur Bahasa Lampung (1985) oleh Aidy Ruslan Satur, dan sebagainya.
Tatabahasa struktural mendasarkan analisisnya pada karakteristik bahasa yang bersangkutan sebagaimana adanya bukan didasarkan pada kaidah bahasa lain. Dengan demikian, kajiannya bersifat deskriptif. Sesuai namanya, pengkajian tidak didasarkan pada nosi atau arti, tetapi pada struktur atau perilakunya dalam sruktur: fona dalam fonem, fonem dalam silabel, silabel dalam leksem, leksem dalam tagmem (frasa, klausa, kalimat). Untuk menggambarkan struktur tertentu, struktur tersebut ditempatkan pada kontinum struktur lain yang melingkupinya.
Simposium tata bahasa tentang kata majemuk pada 20 Oktober 1979 merumuskan simpulan, di antaranya sebagai berikut.
1. Prinsip yang harus dipegang di dalam mengidentifikasikan apakah suatu konstruksi merupakan konstruksi majemuk atau tidak ialah bahwa konstruksi itu memperlihatkan derajat keeratan yang tinggi sehingga merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan.
2. Sebagai konstruksi yang tak terpisahkan, konstruksi majemuk berperilaku sebagai kata, artinya masing-masing konstituen konstruksi hilang otonominya. Hilannya otonomi itu berarti bahwa masing-masing konstituen tidak dapat dimodifikasikan secara terpisah, maupun di antaranya tidakdapat disisipkan morfem lain tanpa perubahan atas makna aslinya. (Parera, 1988: 117-118)
Rumusan simpulan tersebut dengan jelas menunjukkan penggunaan teori struktural dalam pengindentifikasian konstruksi majemuk seperti tersurat pada istilah (1)konstruksi, (2)kesatuan, (3)konstituen konstruksi, (4)derajat keeratan, dan (5)disisipi.
Bagaimanakah Ramlan dalam buku Sintaksis mengidentifikasi kalimat tanya? Kalimat tanya, menurut Ramlan (1981: 33), berpola intonasi [2] 3// [2] 3 2 Ú. Pola tersebut berbeda dengan pola kalimat berita [2] 3 // [2] 3 1 Ø, atau pola intonasi kalimat suruh 2 3 Ø atau 2 3 2 Ø (Ramlan, 1981: 32-45). Pengidentifikasian seperti itu menunjukkan bahwa nosi tidak lagi menjadi kerangka konsep struktural, melainkan struktur otonom satuan bahasa yang didesripsikanlah yang dijadikan pijakannya.
3. Periode Dominasi Transformasional di Tengah Variasi (1985-an s.d. akhir 1990-an)
Pengenalan transformasional salah satunya dilakukan oleh Samsuri pada dua bab terakhir buku Analisa Bahasa (1980) pada edisi kedua. Lewat makalah yang disajikan dalam berbagai kesempatan, khususnya Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atmajaya (PELLBA), Bambang Kaswanti Purwo ( dan juga Soenjono Dardjowidjojo) patut dicatat juga sebagai introduktor dan eksplorator transformasional dalam kajian bahasa Indonesia dan juga bahasa-bahasa nusantara. Misalnya, dalam Simposium Linguistik 1985 (embrio PELLBA) berapa teori mutakhir di bidang linguistik disajikan: “Aliran Transformasional 1957—1965” oleh Samsuri, “Perkembangan Aliran Transformasional 1965 – Kini” oleh Riga Adiwoso, “Teori Tagmemik” oleh Stephanus Djawanai, “Tatabahasa Relasional” oleh Bambang Kaswanti Purwo (Dardjowidjojo, 1987).
Terbitnya dua buku J.D. Parera pada 1988, yaitu Morfologi, dan Sintaksis semakin mempertegas kecenderungan kajian dengan landasan teori transformasional. Sebagai contoh penggunaan teori transformasi, Parera dalam salah satu babnya menguraikan secara transformasional kata petinju dan peninju sebagai berikut (Parera, 1988a: 28).
petinju = Nor + ber—Vd > pe – Vd
peninju = Nor + meN—Vd > peN -- Vd
Contoh tersebut menunjukkan bahwa dalam tata bahasa transformasional, struktur dalam (deep structure) ditransformasikan ke struktur luar (surface structure). Secara generatif transformasional kata, petinju dibentuk melalui verba bertinju, sedangkan kata peninju dibentuk melalui verba meninju. Jadi, pembentukan itu tidak langsung dari dasar tinju.
Kalimat “Ia membaca buku.”, misalnya, berdasarkan kaidah transformasional akan diterangkan sebagai berikut.
1. K Õ GB + GK
2. GB Õ N1
3. GK Õ V + N2
4. N1 Õ ia
5. V Õ membaca
6. N2 Õ buku
Secara transformasional, Kalimat itu terbentuk oleh Gatra Benda plus Gatra Kerja. Pengisi Gatra Benda adalah Nomen ia, sedangkan pengisi Gatra Kerja adalah Verbum membaca, dan Nomen buku. Dengan model analisis immediate contstituents (IC) yang diintroduksikan oleh Chomsky, kalimat tersebut berdiagram pohon (diagram akar) sebagai berikut.
Penggunaan teori transformasional tersebut semakin tampak pada Tatabahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBI) yang diterbitkan bersamaan dengan Kongres Bahasa V, pada 1988. Walaupun TBBI memperlihatkan keeklektisan teori-teori, namun transformasional cukup ambil peran. Perhatikanlah bagaimana TBBI menerangkan morfologi verba, nomina, ataupun adjektiva. Istilah ‘penurunan’ senantiasa digunakan untuk itu (Alwi, 1993: 144-163)
4.6.1 Penurunan Verba Taktransitif
4.6.1.1 Verba Taktransitif Asal
4.6.1.2 Penurunan Verba Taktransitif dengan meng-
4.6.1.3 Penurunan Verba Taktransitif dengan ber-
4.6.1.4 Penurunan Verba Taktransitif dengan ber--kan
4.6.1.5 Penurunan Verba Taktransitif dengan ber--an
4.6.1.6 Penurunan Verba Taktransitif dengan ter-
4.6.1.7 Penurunan Verba Taktransitif dengan ke--an
4.6.1.8 Penurunan Verba Taktransitif dengan Perulangan
Pada bab Nomina, Pronomina, dan Numeralia, khususnya penurunan nomina dengan per—an, misalnya, digunakanlah uraian dan contoh berikut (Alwi, 1993: 258-259)
“Nomina dengan per – an juga diturunkan dari verba, tetapi umumnya dari verba taktransitif dan berawalan ber-. Akan tetapi, ada pula nomina per – an yang berkaitan dengan verba meng- atau memper- yang berstatus transitif.
perjanjian ->berjanji
pergerakan -> bergerak
pergelaran -> menggelar
pertahanan -> mempertahankan
perlawanan -> melawan
permintaan -> meminta
Meski demikian, teori-teori lain baik yang sebelumnya sudah diintroduksi maupun teori baru terus dikembangkan sehingga menampakkan kevariasian teori. Variasi teori tampak pada penerbitan karya-karya terjemahan dari buku-buku babon di ilmu bahasa oleh ILDEP. Misalnya, Ilmu Bahasa: Pengantar Dasar (1982) karya Unlenbeck, Ilmu Bahasa: Pengantar (1987) karya Andre Marinet, Ilmu Bahasa Lapangan (1988) karya William J. Samarin, Pengantar Linguistik Umum (1988) karya Ferdinand de Saussure, Bahasa Indonesia: Deskripsi dan Teori (1991) karya N.F. Alieva dkk., Linguistik Umum (1992) karya R.H. Robins. Karya John Lyons Pengantar Teori Linguistik (1995) diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.
Di dunia pengajaran bahasa Indonesia, pada 1984 terjadi inovasi penggunaan pendekatan komunikatif pragmatikal yang menggeser pendekatan strukural gramatikal. Tentu saja asumsinya bahwa pendekatan tersebut tidak dapat dipisahkan dari teori bahasa yang mendasarinya. Pada 1994, ketika terjadi perubahan kurikulum, dalam pengajaran bahasa Indonesia penggunaan pendekatan komunikatif pragmatikal semakin dikukuhkan dalam label pendekatan tematis, integratif, dan komunikatif (Yohanes, 1993: 1-4). Terkait dengan masuknya pragmatik dalam kancah studi linguistik di Indonesia, penelitian Bambang Kaswanti Purwa Deiksis dalam Bahasa Indonesia (1984) patut dicatat sebagai pelopornya. Begitupun penerbitan terjemahan buku babon bidang pragmatik seperti Prinsip-Prinsip Pragmatik (1995) karya Geoffry Leech, dan Analisis Wacana (1996) karya Gillian Brown dan George Yull membuktikan kevariasian yang terjadi pada periode ini. Pemasukan bab Wacana dalam TBBI (1988) memperkuat gambaran kevariasian pada periode ini.
Kevariasian juga mewarnai periode ini dengan perkembangan ilmu-ilmu hibridis di bidang bahasa. Misalnya, hibrida antara psikologi dan linguistik seperti karya Sri Utari Subyakto-Nababan Psikolinguistik:Suatu Pengantar (1988), karya Soenjono Dardjowidjojo Echa: Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia (2000), hibrida antara sosiologi dan linguistik yang menjadi sosiolinguistik seperti Sosiolinguistik (1985) karya Chaedar Alwasilah, Sosiolinguistik (1987) karya Mansoer Pateda, atau Sosiologi Bahasa (1988) karya Suwito. Lembaga Bahasa Atma Jaya bersama BPPT pada 1988 merintis hibrida antara ilmu komputer dan linguistik yang melahirkan linguistik komputal.
Pada 1993, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) menerbitkan Penyelidikan Bahasa dan Perkembangan Wawasannya dalam dua jilid. Dalam bunga rampai ini terhimpun tulisan antara 1988-1991 dari para anggota MLI. Tulisan-tulisan itu menampakkan adanya ciri kevariasian teori yang berkembang selama periode tersebut. “Transformasi Pemindahan dalam Bahasa Mandar” karya Ba’dulu, “Interaksi Negasi dengan Numeralia” karya Sudaryono, “Suatu Kajian Verba Kausatif Indonesia” karya Garantjang, sekadar contoh kajian transformasional dalam bunga rampai tersebut. “Ketegaran Letak Keterangan Cara, Tempat, dan Waktu dalam Bahasa Indonesia” tulisan Dhanawaty, “Kata sebagai Satuan Sentral Kajian Morfologi: Ancangan Dasar Morfologi Struktural” tulisan Ekowardono, keduanya menggunakan teori struktural. “Kesatuan Topik dalam Wacana Eksposisi, Deskripsi, dan Narasi dalam Bahasa Indonesia” tulisan Baryadi menerapkan pendekatan analisis wacana. Tulisan yang terhimpun dalam jilid II diikat oleh kajian yang bersifat hibridis, dan terapan. “Tingkat Tutur Bahasa Melayu Palembang” karya Arifin, “Beberapa Konsep Semantik Murni dan Kaitan Mereka dengan Ragam bahasa Ilmiah” karya Sukemi, “Bentuk Tutur Pedagang Kaki Lima Kotamadya Semarang” karya Suryadi, adalah contoh kajian dari perspektif sosiolinguistik. Yang terapan tampak pada “Pragmatik dalam Pengajaran Bahasa Daerah: Kasus dalam Bahasa Bali” oleh Sumarsono, “Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar” oleh Purwo.
4. Periode Warna-warni Teori (Awal 2000-an)
Oleh sebab perkembangan seperti tergambar pada periode sebelumnya, kini (pada awal 2000-an), studi linguistik di Indonesia berwarna-warni ibarat taman bunga. Hal itu dapat dipahami karena seperti telah dikatakan sebelumnya ciri yang ada pada periode sebelumnya tidak berarti stagnan atau mandeg pada periode berikutnya. Pada periode tertentu yang terjadi hanyalah dominasi teori tertentu, akan tetapi teori lain yang berkembang pada periode sebelumnya tidak berarti mati. Sebab lain adalah periode ini dengan demikian merupakan muara akhir atau akumulasi teori-teori yang pernah berlaku.
Kewarna-warnian itu dapat dilihat bahwa kajian berdasar teori tradisional pada periode ini masih juga mewarnai peristiwa linguistis (penelitian ataupun pengajaran) bahasa Indonesia. Demikianpun kajian berdasar teori struktural, transformasional. Apalagi kajian pragmatik, psikolinguistik, sosiolinguistik, ekologilinguistik. Beberapa tulisan yang terhimpun dalam PELLBA 16 (2003), misalnya dapat memperjelas mozaik tersebut. Tulisan Bernard Comrie “Some Thoughts on ‘give’ in Austronesian and Papuan Languages” memadukan kajian gramatikal dan pragmatikal, Bambang Kaswanti Purwo “Konstruksi Bitransitif: Tipe ‘beri’ dan ‘beli’ didasarkan atas strukural dan transformasional, dan tulisan I Wayan Arka “Tatabahasa Leksikal-Fungsional: Prinsip-prinsip Utama dan Tantangannya bagi Analisis Bahasa Nusantara” didasarkan pada teori tradisional, termasuk juga tulisan Peter Austin “The Linguistic Ecology of Lombok, Eastern Indonesia” memadukan ekologi dan linguistik.
Dalam tatapan perkembangan linguistik, kondisi tersebut harus disikapi sebagai hal postif. Di masa datang (barang kali 2005, atau 2010, atau entah kapan) karena sifat bangsa Indonesia yang gemar mengharmonisasikan keragaman dan keperbedaan, dapat diharapkan muncul teori baru. Siapa tahu? Atau barang kali setelah beragam teori itu diaplikasikan dalam repertoar bahasa-bahasa di Indonesia, akan muncul juga teori baru sebagai pemberontakan atas ketidakcocokan teori dengan karakteristik bahasa-bahasa di Indonesia. Siapa tahu? Dengan kata lain, kevariasian itu diharapkan bermuara pada keeklektisan, yaitu keterpaduan keunggulan beragam teori dengan repertoar bahasa-bahasa di Indonesia, akhirnya melahirkan teori berkarakteristik Indonesia.
Penutupan
Berdasarkan bahasan tersebut, tampak bahwa kecenderungan pengkajian bahasa di Indonesia pada periode tertentu tertinggal sekian tahun bahkan sekian abad kemudian dengan pengkajian bahasa-bahasa di dunia. Perkembangan ilmu bahasa di Indonesia tertinggal dengan perkembangan linguistik pada tingkat global. Tatabahasa tradisional yang booming pada 400 SM, di Indonesia baru memperoleh wujudnya pada 1950-an, misal pada Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia Sutan Takdir Alisjahbana, atau baru berwujud pada 1653 ketika Joannes Ramon menulis tata bahasa Melajoe. Berapa abad linguistik di Indonesia tertinggal? Dua puluh tiga abad (400SM – 1950) atau dua puluh abad (400SM – 1653). Demikianpun tata bahasa struktural yang di persemaiannya sudah hidup pada 1930-an (Bloomfield, de Saussure), di Indonesia baru diintroduksi dan mulai dikembangkan pada 1965-an dengan booming-nya pada akhir 1970-an. Itu berarti lima windu atau 40 tahun tertinggal (1930 – 1970). Tatabahasa transformasional yang disemai oleh Chomsky pada kisaran 1950-an s.d. 1960-an, baru berkembang di Indonesia pada 1985-an s.d. akhir 1990-an. Meskipun sudah lebih dekat jaraknya, linguistik di Indonesia tetap tertinggal lebih dari tiga dasa warsa atau, sekitar 35 tahun (1950 – 1985). Tatabahasa Tagmemik yang dikembangkan Pike pada akhir 1960-an dan berlanjut pada Pragmatik pada awal 1970-an (Fodor, Postal), baru gayung bersambut pada 1985-an di Indonesia. Kembali perkembangan linguistik di Indonesia terlambat antara 10 sampai 20 tahun. Mengapa begitu?
Jika perkembangan ilmu pengetahuan identik dengan perkembangan kesejahteraan atau kemapanan ekonomis ilmuwan baik secara individual maupun komunal, atau bahkan tingkat kemakmuran/kesejahteraan menjadi prakondisi pengembangan ilmu, maka dapat diduga bahwa ketertinggalan perkembangan linguistik di Indonesia berkait erat dengan –untuk tidak mengatakan disebabkan oleh- ketertinggalan pembangunan ekonomi bangsa Indonesia. Dengan kata lain, orang tidak mungkin berpikir secara optimal dalam kondisi perut minimal alias lapar. Simak saja catatan historis yang terjadi di Athena maupun Miletos pada masa Thales (625 SM), atau Plato (427 SM), atau Aristoteles (384 SM), pemikiran filsafati yang terjadi pada masa-masa itu berkait erat dengan kejayaan dan kemakmuran bangsa Yunani pada masa itu.
Persoalan yang wigati sekarang adalah bagaimana berikutnya. Akankah linguistik Indonesia berpasrah diri dengan ketertinggalannya? Ataukah dengan kondisi kewarna-warnian pada awal 2000-an tersebut, akan lahir teori baru dari kancah studi linguistik di Indonesia sehingga dunia melirikan mata (syukur jika membelalakan mata) ke perkembangan linguistik di Indonesia? Semuanya bergantung pada manusia pemikirnya (baca: ahli bahasa) yang terdidik di program-program sarjana maupun pascasarjana, khususnya program S3. Inilah tantangan kita!
SIMPULAN
Ilmu bahasa atau linguistik berkembang di kancah studi bahasa di Indonesia? Dengan menggunakan sebagian karya penelitian bahasa, penelusuran jejak pengajaran/pembelajaran bahasa, dan penyimakan karya-karya teoritik di bidang ilmu bahasa, tulisan ini hendak merentang sejarah perkembangan linguistik di Indonesia tersebut. Sesuai dengan dominasi teori tertentu pada kurun waktu tertentu dipetakanlah perkembangan linguistik tersebut dalam (1)periode dominasi tata bahasa tradisional (sebelum 1965-an), (2)periode dominasi tata bahasa struktural (1965-an s.d. 1985-an), (3)periode dominasi tata bahasa transformasional di tengah variasi tata bahasa fungsional /pragmatik (1985-an s.d. akhir 1990-an), dan (4)periode warna-warni teori (awal 2000-an).
DAFTAR PUSTAKA
Alieva, N.F. dkk. 1991. Bahasa Indonesia: Deskripsi dan Teori. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Alisjahbana, S. Takdir. 1980. Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia 1. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat.
Alisjahbana, S. Takdir. 1980. Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia 2. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat.
Alwasilah, Chaedar. 1989. Beberapa Madhab dan Dikotomi Teori Linguistik. Bandung: Penerbit Angkasa.
Alwi, Hasan, p. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Arifin, Siti Salamah. 1993. “Tingkat Tutur Bahasa Melayu Palembang” dalam Kridalaksana (p.) Penyelidikan Bahasa dan Perkembangan Wawasannya II. Jakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia.
Ba’dulu, Abdul Muis. 1993. “Transformasi Pemindahan dalam Bahasa Mandar” dalam Kridalaksana (p.) Penyelidikan Bahasa dan Perkembangan Wawasannya I. Jakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia.
Baryadi, I. Praptomo. 1993. “Kesatuan Topik dalam Wacana Eksposisi, Deskripsi, dan Narasi dalam Bahasa Indonesia” dalam Kridalaksana (p.) Penyelidikan Bahasa dan Perkembangan Wawasannya I. Jakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia.
Brown, Gillian dan George Yule. 1996. Analisis Wacana. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Dardjowidjojo, Soenyono, ed. 1985. Perkembangan Linguistik di Indonesia. Jakarta: Penerbit Arcan.
Dardjowidjojo, Soenjono, p. 1987. Linguistik: Teori & Terapan. Jakarta: Lembaga Bahasa Universitas Katolik Atma Jaya.
Dardjowidjoyo, Soenjono. 2000. Echa: Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
de Saussure, Ferdinand. 1998. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sabtu, 28 Maret 2009
ANALISIS SASTRA KONTEMPORER
ANALISIS SASTRA KONTEMPORER
PADA PUISI “SEPISAUPI”
KARYA SUTARDJI CALZOUM BAHRI
Oleh:
Koko Hari Pramono
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
JOMBANG
2008
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra kontemporer adalah karya sastra yang muncul sekitar tahun 70-an, bersifat eksperimental, memiliki sifat-sifat yang “menyimpang” dari konvensi-konvensi sastra yang berlaku biasa atau umum. Sastra kontemporer muncul sebagai reaksi terhadap sastra konvensional yang sudah beku dan tidak kreatif lagi.
Sastra kontemporer merambah pada seluruh jenis karya sastra, seperti novel, puisi, dan drama. Tokoh-tokoh sastra ini pada zamannya termasuk sastrawan mudah pada tahun 70-an. Munculnya sastra kontemporer merupakan reaksi terhadap sastra konvensional yang dianggap telah mendominasi eksistensi karya sastra. Bahkan sastrawan mudah merasa “sumpeg” dengan karya sastra yang telah ada karena merasa terbelenggu daya kreasinya. (J. Prapta Diharja, SJ)
Sastra kontemporer juga bias dikatakan sastra mutaakhir krena pada masa itu sastra ini dianggap sebagai ujung dari penciptaan karya sastra pada masanya dan juga bias dibilang sastra moderen seiring periode waktu tetapi antara sastra moderen dan mutaakhir bukan hanya sebatas periode waktu tetapi juga karena pola piker seorang pengarang yang memiliki pola pemikiran yang lain dari pada pengarang lain pada masanya yang berarti sebuah kemajuan berfikir untuk menciptakan karya sastra. (Tafsir budi darma)
Pada karya sastra yang berjudul sepisaupi karya Sutardji Calzoum Bahri adalah puisi kontemporer karena terlepas dari konvensi, kalau dilihat dari masa pembuatan dan pola berfikir pengarang merupakan puisi mutaakhir dan moderen kerena periode dan cara berfikir yang lain dari pada pengarang lain pada masanya (kemajuan berfikir)
BAB I
ISI
A. LANDASAN TEORI
Mariorie Boulton menjelaskan bahwa bunyi vokal panjang lebih khidmat dan lebih mendamaikan hati. Konsonan /b/ dan /p/ adalah konsonan eksplosif yang mampu memberikan sugesti kecepatan, gerakan, dan memberikan kesan remeh atau cemoohan. Konsonan /m/, /n/, dan /ng/ memberikan efek adanya dengungan (echo), nyanyian, musik, dan kadang-kadang bersifat sinis. Konsonan /l/ memberikan sugesti pada gerakan yang mengalir pelan-pelan, melambai-lambai, menggairahkan, damai, dan kadang-kadang bersifat mewah. Konsonan /k/, /g/, /kh/, dan /st/ memberikan sugesti akan suasana penuh kekerasan, gerakan yang tak seragam, konflik, namun kadang-kadang mengandung kebencian. Sedangkan konsonan /s/ dan /sy/ mensugesti timbulnya suasana mengejek, lembut, lancar, dan kadang-kadang menimbulkan perasaan yang menyejukkan. Konsonan /z/ berhubungan dengan konteks suasana kekerasan. Konsonan /f/ dan /w/ berhubungan dengan keadaan angin, sayap burung, dan gerakan di udara. Konsonan /t/ dan /d/ mirip seperti /k/ dan /g/, tetapi tanpa empati dan banyak digunakan untuk melukiskan gerakan yang pendenk. Konsonan /r/ berhubungan dengan gerakan dan suara. Konsonan /d/ berhubungan dengan keras lunaknya suatu gerakan. (Boulton, 1979:58)
Sastra kontemporer juga bias dikatakan sastra mutaakhir krena pada masa itu sastra ini dianggap sebagai ujung dari penciptaan karya sastra pada masanya dan juga bias dibilang sastra moderen seiring periode waktu tetapi antara sastra moderen dan mutaakhir bukan hanya sebatas periode waktu tetapi juga karena pola piker seorang pengarang yang memiliki pola pemikiran yang lain dari pada pengarang lain pada masanya yang berarti sebuah kemajuan berfikir untuk menciptakan karya sastra. (Tafsir budi darma)
B. ANALISIS
Puisi yang berjudul “sepisaupi” banyak menggunakan fonem /s/ dan /p/. Jika merujuk pada pernyataan Boulton, bunyi /s/ mensugesti timbulnya suasana mengejek, lembut, lancar, dan kadang-kadang menimbulkan perasaan yang menyejukkan, sedangkan /p/ adalah konsonan eksplosif yang mampu memberikan sugesti kecepatan, gerakan, dan memberikan kesan remeh atau cemoohan.
Sepisaupi jika didengarkan seperti mantra. Hal itu dikarenakan penggabungan kata-kata sepi dan pisau jika dibaca tanpa putus kita akan dapat menangkap makna dari sepi dan pisau itu. Efek /s/ dan /p/ pada “sepisaupi” menimbulkan efek magis, dan efek penggunaan fonem tersebut berpengaruh pada pengucapan puisi yang dibaca dengan cepat dan terdengar seperti mantra. Efek magis yang murni pada puisi tersebut juga dapat kita lihat dari pengulangan-pengulangan (repetisi) seperti pada mantra. Sepisau, sepisaupa, sepisaupi, begitu banyak diulang-ulang dalam puisi ini. Puisi-puisi sejenis ini memang tidak terlalu kuat dalam gaya bahasa, simbol atau permainan kata. Puisi ini adalah teori pemecahan (fusi) kata, permainan bentuk, pemaknaan baru, dan puisi menurut juga adalah mengembalikan kata pada mantra.
Asonansi:
Pengulangan bunyi vokal yang sama pada kata/perkataan yang berurutan dalam baris-baris puisi. Pengulangan begini menimbulkan kesan kehalusan, kelembutan, kemerduan atau keindahan bunyi. Yerdapat pada kata :
Sepisapanya
Keranjang
Sepisaupa
Sepisaupi
Aliterasi:
Pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-baris puisi; biasanya pada awal kata/perkataan yang berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan keindahan bunyi. Terdapat pada kata :
sepisaupa
sepisapanya
nyanyi
Makna
Adalah suatu semiotika atau symbol yang terdapat pada puisi.
sepi dan pisau jika dibaca tanpa putus kita akan dapat menangkap makna dari sepi dan pisau itu. Efek /s/ dan /p/ pada “sepisaupi” menimbulkan efek magis, dan efek penggunaan fonem tersebut berpengaruh pada pengucapan puisi yang dibaca dengan cepat dan terdengar seperti mantra
SEPISAUPI
sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupi
sepikul diri keranjang duri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya ke dalam nyanyi.
Parafrase puisi
Sepisau luka sepisau duri merupakan bentuk luka yang yang teramat sangat yang pernah dialami, penggambaran dari dosa yang telah dilakukan dan membuat penyesalan yang mendalam,kerena dosa yang telah dilakukan membuat perenungan dalam kesendirian, ketika kesendirian itu yang dirasakan hanyalah penyesalan sepisaupa sepisaupi pelukisan akan pisau dan sepi seolah-olah kesendirian yang menyakitkan, sepisapanya sepikau sepi disini takadalagi sapaan kerena kesepian yang telah dialami, sepisaupa sepisaupi pengulangan kata ini adalah penguatan tentang kesepian, sepikul diri keranjang duri adalah siksaan kesepian yang dialami sendiri dan harus ditanggung olehnya tanpa seorangpun yang membantu, sepisaupa sepisaupi penguatan kesepian yang dialami terulang-ulang sampai akhir yang selalu mendramatisir kisah kesendirian ini, sampai pisauNya ke dalam nyanyi kesedihan akan kesepian selalu menghantui diri selamanya seakan-akan irama kesepian bagai lagu dalam hati.
DAFTAR PUSTAKA
Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Surabaya. Erlangga
Boulton, 1979:58
PADA PUISI “SEPISAUPI”
KARYA SUTARDJI CALZOUM BAHRI
Oleh:
Koko Hari Pramono
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
JOMBANG
2008
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra kontemporer adalah karya sastra yang muncul sekitar tahun 70-an, bersifat eksperimental, memiliki sifat-sifat yang “menyimpang” dari konvensi-konvensi sastra yang berlaku biasa atau umum. Sastra kontemporer muncul sebagai reaksi terhadap sastra konvensional yang sudah beku dan tidak kreatif lagi.
Sastra kontemporer merambah pada seluruh jenis karya sastra, seperti novel, puisi, dan drama. Tokoh-tokoh sastra ini pada zamannya termasuk sastrawan mudah pada tahun 70-an. Munculnya sastra kontemporer merupakan reaksi terhadap sastra konvensional yang dianggap telah mendominasi eksistensi karya sastra. Bahkan sastrawan mudah merasa “sumpeg” dengan karya sastra yang telah ada karena merasa terbelenggu daya kreasinya. (J. Prapta Diharja, SJ)
Sastra kontemporer juga bias dikatakan sastra mutaakhir krena pada masa itu sastra ini dianggap sebagai ujung dari penciptaan karya sastra pada masanya dan juga bias dibilang sastra moderen seiring periode waktu tetapi antara sastra moderen dan mutaakhir bukan hanya sebatas periode waktu tetapi juga karena pola piker seorang pengarang yang memiliki pola pemikiran yang lain dari pada pengarang lain pada masanya yang berarti sebuah kemajuan berfikir untuk menciptakan karya sastra. (Tafsir budi darma)
Pada karya sastra yang berjudul sepisaupi karya Sutardji Calzoum Bahri adalah puisi kontemporer karena terlepas dari konvensi, kalau dilihat dari masa pembuatan dan pola berfikir pengarang merupakan puisi mutaakhir dan moderen kerena periode dan cara berfikir yang lain dari pada pengarang lain pada masanya (kemajuan berfikir)
BAB I
ISI
A. LANDASAN TEORI
Mariorie Boulton menjelaskan bahwa bunyi vokal panjang lebih khidmat dan lebih mendamaikan hati. Konsonan /b/ dan /p/ adalah konsonan eksplosif yang mampu memberikan sugesti kecepatan, gerakan, dan memberikan kesan remeh atau cemoohan. Konsonan /m/, /n/, dan /ng/ memberikan efek adanya dengungan (echo), nyanyian, musik, dan kadang-kadang bersifat sinis. Konsonan /l/ memberikan sugesti pada gerakan yang mengalir pelan-pelan, melambai-lambai, menggairahkan, damai, dan kadang-kadang bersifat mewah. Konsonan /k/, /g/, /kh/, dan /st/ memberikan sugesti akan suasana penuh kekerasan, gerakan yang tak seragam, konflik, namun kadang-kadang mengandung kebencian. Sedangkan konsonan /s/ dan /sy/ mensugesti timbulnya suasana mengejek, lembut, lancar, dan kadang-kadang menimbulkan perasaan yang menyejukkan. Konsonan /z/ berhubungan dengan konteks suasana kekerasan. Konsonan /f/ dan /w/ berhubungan dengan keadaan angin, sayap burung, dan gerakan di udara. Konsonan /t/ dan /d/ mirip seperti /k/ dan /g/, tetapi tanpa empati dan banyak digunakan untuk melukiskan gerakan yang pendenk. Konsonan /r/ berhubungan dengan gerakan dan suara. Konsonan /d/ berhubungan dengan keras lunaknya suatu gerakan. (Boulton, 1979:58)
Sastra kontemporer juga bias dikatakan sastra mutaakhir krena pada masa itu sastra ini dianggap sebagai ujung dari penciptaan karya sastra pada masanya dan juga bias dibilang sastra moderen seiring periode waktu tetapi antara sastra moderen dan mutaakhir bukan hanya sebatas periode waktu tetapi juga karena pola piker seorang pengarang yang memiliki pola pemikiran yang lain dari pada pengarang lain pada masanya yang berarti sebuah kemajuan berfikir untuk menciptakan karya sastra. (Tafsir budi darma)
B. ANALISIS
Puisi yang berjudul “sepisaupi” banyak menggunakan fonem /s/ dan /p/. Jika merujuk pada pernyataan Boulton, bunyi /s/ mensugesti timbulnya suasana mengejek, lembut, lancar, dan kadang-kadang menimbulkan perasaan yang menyejukkan, sedangkan /p/ adalah konsonan eksplosif yang mampu memberikan sugesti kecepatan, gerakan, dan memberikan kesan remeh atau cemoohan.
Sepisaupi jika didengarkan seperti mantra. Hal itu dikarenakan penggabungan kata-kata sepi dan pisau jika dibaca tanpa putus kita akan dapat menangkap makna dari sepi dan pisau itu. Efek /s/ dan /p/ pada “sepisaupi” menimbulkan efek magis, dan efek penggunaan fonem tersebut berpengaruh pada pengucapan puisi yang dibaca dengan cepat dan terdengar seperti mantra. Efek magis yang murni pada puisi tersebut juga dapat kita lihat dari pengulangan-pengulangan (repetisi) seperti pada mantra. Sepisau, sepisaupa, sepisaupi, begitu banyak diulang-ulang dalam puisi ini. Puisi-puisi sejenis ini memang tidak terlalu kuat dalam gaya bahasa, simbol atau permainan kata. Puisi ini adalah teori pemecahan (fusi) kata, permainan bentuk, pemaknaan baru, dan puisi menurut juga adalah mengembalikan kata pada mantra.
Asonansi:
Pengulangan bunyi vokal yang sama pada kata/perkataan yang berurutan dalam baris-baris puisi. Pengulangan begini menimbulkan kesan kehalusan, kelembutan, kemerduan atau keindahan bunyi. Yerdapat pada kata :
Sepisapanya
Keranjang
Sepisaupa
Sepisaupi
Aliterasi:
Pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-baris puisi; biasanya pada awal kata/perkataan yang berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan keindahan bunyi. Terdapat pada kata :
sepisaupa
sepisapanya
nyanyi
Makna
Adalah suatu semiotika atau symbol yang terdapat pada puisi.
sepi dan pisau jika dibaca tanpa putus kita akan dapat menangkap makna dari sepi dan pisau itu. Efek /s/ dan /p/ pada “sepisaupi” menimbulkan efek magis, dan efek penggunaan fonem tersebut berpengaruh pada pengucapan puisi yang dibaca dengan cepat dan terdengar seperti mantra
SEPISAUPI
sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupi
sepikul diri keranjang duri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya ke dalam nyanyi.
Parafrase puisi
Sepisau luka sepisau duri merupakan bentuk luka yang yang teramat sangat yang pernah dialami, penggambaran dari dosa yang telah dilakukan dan membuat penyesalan yang mendalam,kerena dosa yang telah dilakukan membuat perenungan dalam kesendirian, ketika kesendirian itu yang dirasakan hanyalah penyesalan sepisaupa sepisaupi pelukisan akan pisau dan sepi seolah-olah kesendirian yang menyakitkan, sepisapanya sepikau sepi disini takadalagi sapaan kerena kesepian yang telah dialami, sepisaupa sepisaupi pengulangan kata ini adalah penguatan tentang kesepian, sepikul diri keranjang duri adalah siksaan kesepian yang dialami sendiri dan harus ditanggung olehnya tanpa seorangpun yang membantu, sepisaupa sepisaupi penguatan kesepian yang dialami terulang-ulang sampai akhir yang selalu mendramatisir kisah kesendirian ini, sampai pisauNya ke dalam nyanyi kesedihan akan kesepian selalu menghantui diri selamanya seakan-akan irama kesepian bagai lagu dalam hati.
DAFTAR PUSTAKA
Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Surabaya. Erlangga
Boulton, 1979:58
Senin, 16 Maret 2009
cinta tak direstui
Dosa apa yang pernah aku lakukan, hingga setuta deraian airmata terkucur tanpa linangan, jika mencinta itu suatu dosa apakah aku berdosa jika ingin membahagiakan sidia, mungkin ini hanya secuil derita tapi kena aku mersa terlluka dan terhina saat kedua orang tuanya dan keluarga besar merendahkan aku dan semua atribut yang terkait dalam kehidupanku? Apa karena hanya materi yang taksanggup aku jamah dan apakah ketulusan perasaan ini takmampu menebus semua harapan dan kebahagiaan, dia sangat suci sampai dihatinya penuh duri hanya karena mempertahankan hubungan ini, sudilah kiranya engkau wahai dewa-dewi cinta untuk menghapus luka lara dalam cerita cintaku dan dia, karena aku tak pernah rela jika siapapun menyakiti perasaannya, biarlah aku yang mengalah dan tulus ikhlas menerima penghinaan dari keluarga besarnya.
Apa aku terlalu bodoh menjalani semua ini sebenarnya aku hanya ingin membuatnya bahagia tapi kenapa olehku juga dia selalu terluka? Oh tuhan sungguh takkuasa aku menyakitinya jika ini adalah hukuman bagiku kenap kau juga tak berikan kebahagiaan padanya? Cukup hanya aku saja yang terluka biarkan dia berdampingan dengan kebahagiaan hanya itu yang aku minta.
Aku merasa rintihan hatiku tiada guna jika aku hanya selalu bertanya dan menyesali kenapa, aku harus jadi kuat seperti kekar pohon yang selalu kokoh ditiup angina, dan tanpa sesalan aku kan menempuh apapun untuk menghiasi setiap senyuman orang yang sangat aku puja sehingga takkan pernah ada luka dikalbu dan putih hatinya,
Apa aku terlalu bodoh menjalani semua ini sebenarnya aku hanya ingin membuatnya bahagia tapi kenapa olehku juga dia selalu terluka? Oh tuhan sungguh takkuasa aku menyakitinya jika ini adalah hukuman bagiku kenap kau juga tak berikan kebahagiaan padanya? Cukup hanya aku saja yang terluka biarkan dia berdampingan dengan kebahagiaan hanya itu yang aku minta.
Aku merasa rintihan hatiku tiada guna jika aku hanya selalu bertanya dan menyesali kenapa, aku harus jadi kuat seperti kekar pohon yang selalu kokoh ditiup angina, dan tanpa sesalan aku kan menempuh apapun untuk menghiasi setiap senyuman orang yang sangat aku puja sehingga takkan pernah ada luka dikalbu dan putih hatinya,
Langganan:
Postingan (Atom)